Perlu diakui banyak pertanyaan-pertanyaan yang lenyap setelah belajar Vedanta. Vedanta memang tidak menjawab apa-apa melainkan melenyapkannya. Ia hanya mewanti-wanti dan tidak banyak bertanggung jawab sehingga saya perlu membangun ulang diri saya sendiri. Seperti klaim filosof, saya merasa perjalanan filsafat saya sudah selesai setelah bertemu dengannya. Saya dibikin tidak meminati pada banyak hal sehingga perlu memantik dan memaksa diri sendiri, selain mencari orang lain untuk membimbing. Saya pikir dari sekian banyak kemampuan, menulis dan membaca adalah yang prioritas. Ini yang mau saya bangun duluan. Seseorang bilang perlunya mencari mentor atau setidaknya refrensi, dan itu saya ikuti dengan memohon ke mbak Isma dan atas kebaikan hatinya ia bersedia membantu. Blog ini adalah materialisasi saran-saran beliau.
Dua bulan lalu, saya membimbing anak-anak SMA kelas 10 untuk belajar komputer dan bahasa Inggris, salah satunya membuat blog. Meski saya tahu caranya, langkah demi langkah, tetapi blog ini adalah pertama kalinya. Ya ini pertama kalinya, dalam ingatan saya, untuk secara personal membuat blog. Lucu sekali ya.
Nama adalah sesuatu yang penting. Saya tidak punya banyak nama di pikiran untuk menamai blog ini. Karena saya sudah terpapar banyak kosa kata sanskerta, khususnya dalam tradisi Vedanta, maka saya memilih vicharanirvichara. Vichara adalah pikiran, nirvichara berarti "nir," tanpa, tanpa pikiran. Pikiran tanpa pikiran, kira-kira itulah kondisi kita setiap hari. Pikiran selalu datang dan pergi. Pikiran selalu berubah. Banyak orang menyarankan untuk mengontrol pikiran, tetapi sesungguhnya sulit. Banyak juga yang sering menilai si A atau si B tidak bepikir padahal mereka berpikir. Yang sulit sebetulnya yang di awal tadi, kondisi ketiadaan pikiran. Sebab pikiran tanpa diminta pun tetap bekerja. Dalam alam pandang pengetahuan yang dominan, pikiran adalah kesadaran, seperti dalam filsafat eropa moderen atau fenomenologi. Pikiran ini adalah sesuatu yang substansial pada manusia, menjadi sesuatu yang tinggi. Sedangkan dalam tradisi filsafat India klasik sebaliknya. Dalam tradisi Vedanta, keduanya terpisah. Kesadaran adalah penyaksi, selalu menjadi penyaksi. Dia pemalas tidak berbuat apa-apa. Dia seperti polisi lalu lintas, hanya menyaksikan bagaimana lalu lintas pikiran berjalan dan pikiran adalah objek-objek, impresi-impresi yang kita cerap. Dalam banyak praktiknya itu, pikiran ini mau disingkirkan, mau diminimalisir perannya, terutama dalam tradisi Yoga. Dan ini bukanlah sesuatu yang mudah. alih-alih I think therefore I am ala Descartes, seorang Yogi akan bilang I dont think therefore I am.
Di Vedanta yang agak tercampur, setelah orang cukup mengetahui siapa dirinya, siapa tuhannya, atau seperti apa realitas itu, barulah keadaaan nirvichar dikejar. Dikejar di sini berarti nirvichar itu terjadi, di bawa ke dalam kondisi terjaga, bukan hanya tertidur pulas. Kenapa tidur pulas tanpa mimpi membawa kedamaian? Sebab tiada pikiran di sana, tiada dunia. Nah kondisi tersebut perlu dihadirkan dalam kondisi terjaga, orang-orang menyebutnya samadhi atau meditative state. Biasanya orang yang punya banyak masalah pikirannya sangatlah aktif. Itu karena ia beropini, berpikir atas dasar ego, suka atau tidak suka yang mengakibatkan memandang dunia tidak seperti adanya. Tujuan filsafat India klasik adalah yang terakhir ini, dharsana, to see, yang mirip dengan theorium, theory kalo di Yunani. Itu mengapa kata guruku pikiran adalah pengkhianat, sebab kita banyak ditipu. Kita tidak memikirkan tentang A tetapi ia muncul. Bila kita kurang berkesadaran, larut sudah jadi budak pikiran itu.
Blog ini nantinya menjadi diari harian, atau pikiran-pikiran terpilih yang akan dituangkan di hari tersebut. Harapan saya pikiran itu nantinya membawa saya ke keadaan nirvichar, tanpa pikiran. Semoga bermanfaat. Maka baiklah mbak Is, saya usahakan! Terima kasih banyak............
Comments
Post a Comment