Aku jarang sekali cerita tentang diri sendiri. Bukan tanpa alasan. Kemampuan orang umumnya sebatas mau didengar, bukan menjadi pendengar. Menjadi pendengar dan tulus mendengar sepertinya memang kemampuan khusus. Di sekitarku lebih banyak yg umum itu, jadi sudah terbiasa sejak kecil jarang sekali bercerita tentang diri.
Ketika menulis ini aku ingat, aku pernah diajak belajar active listening oleh mas-mas jogja S2. Aku tidak tau apa itu active listening. Yang aku tau dari gelagatnya dia mendekatiku. Dia dominan energi feminimnya. Hampir tiap 3 bulan dia berusaha berkomunikasi, tapi kuabaikan. Aku masih belum tertarik hubungan spesial, apalagi sesama jenis.
Bila bisa mendeskripsikan diri sendiri, aku akan bilang aku adalah penyaksi dan masih belajar jadi penyaksi. Menurutku langkah belajar yang utama adalah menyaksikan. Kita menyaksikan seorang ahli berbicara atau tulisan tertentu atau melakukan sesuatu baru setelahnya kita kontemplasikan. Entah kenapa memang lebih asik menjadi pengamat. Aku lebih merasa faedahnya lebih banyak. Mengamati artinya mendengar. Mengamati adalah upaya memahami. Yang terakhir ini termasuk juga kemampuan khusus. Dalam meditasi mendengar juga jadi metode. Ini dulu sering juga aku terapkan. Akibatnya aku sangat sadar, bahkan ketika saat mandi. Aku juga semakin sering didatangi orang. Mereka memanfaatkanku dalam upaya mereka memuntahkan pikiran. Aku tidak tau kenapa mereka memilihku. Ada yang nangis-nangis datang ke kamarku. Alih-alih simpati, aku malah tersenyum dalam hati. Sebab ternyata masalahnya itu masalah yang menurutku sepele. Tapi ya itu, mungkin ia tak sadar diadu domba pikiran.
Karena meditasi pula sensitivitasku agak meningkat. Bila seseorang itu punya pikiran dan perasaan yang kacau lalu bercerita percis kepadaku, kepalaku langsung sakit dan dadaku sesak. Dulu aku tidak tau caranya melindungi diri. Aku masih terombang ambing oleh energi sekitar. Kadang pula aku menangkap maksud buruk atau pikiran buruk seseorang kepadaku. Seperti ada yang mengatakan dari dalam. Diakui juga lewat mereka aku jadi belajar memahami diri. Jangan sampai apa yang aku alami adalah dunia dalamku. Aku cepat-cepat pertimbangkan. Mereka yang memahami orang lain punya pemahaman lebih tentang diri sendiri.
Mereka juga bilang aku cocok jadi konselor, pendengar yang sabar dan mampu memahami. Enaklah diajak ngobrol. Sebetulnya aku masih dalam upaya untuk betul-betul meminati bukan sepintas basa-basi. Aku tidak terlalu menyukai basa-basi. Amatanku itu bilang masalah mereka itu-itu saja, masalah manusia memang itu-itu saja. Itu karena mereka abai, kadung keruh memandang masalah. Toh bila mereka minta saran dan aku sarankan mereka juga tidak menerima. Jadi aku pikir cuma validasi perasaan dan pikiran aja kalo mereka bercerita. Itu sebagian besarnya. Juga ada kok yang menerima pandangan lain.
Yang tidak terbuka mengalami pengalaman yang sama berulang. Ada yang aku saksikan bertahun-tahun. Mereka sudah "digebuki" semesta tapi toh tak sadar juga. Di sini sikap tega dan tidak mudah iba-ku juga dibangun. Betul ada orang yang berhak untuk ditolong tapi juga banyak yang tidak. Sudah semestinya manusia saling membantu sesamanya tetapi hanya pada mereka yang mau dibantu saja. Yang mau itu artinya mau bertumbuh dan bertumbuh sinonim dengan kebaikan. Mereka yang buruk tabiatnya diam dan berhenti di tempat. Itu mengapa saya pernah mendengar dalam quran disebutkan "berilah peringatan, sesungguhnya peringatan berguna bagi mereka yang beriman." Aku makin paham memang tidak seharusnya apa yang ada di pikiran kita dibagikan ke seluruh penjuru atau mengapa dianjurkan mengubah diri dulu baru yang lain.
Selain jadi pendengar itu, banyak pula yang bilang aku sosok pengemong, sosok kakak, abang yang membimbing dan mengarahkan. Setelah diliat-liat wetonku oleh pengalaman leluhur Jawa, aku memang dinilai seperti itu. Cocok jadi guru/dosen katanya. Sudah dua orang yang ahli supra natural bilang kepadaku hal yang sama. Bisnis juga oke kata yang satunya lagi. Pikiranku bisnis sekali katanya. Tetapi aku sebatas pemberi masukan. Ada temanku yang dari 2018 lalu aku sarankan berjualan sepatu. Hingga saat ini ia masih berjalan. Saat di Jakarta tahun lalu, aku juga pernah berdoa, baiknya aku kerja semisal WHV atau apakah aku harus kuliah? di mimpi itu ada yang bilang PhD! Tapi entahlah, beasiswa yang aku daftar masih belum ada yang lolos. Mereka yang terdekat menyarankan aku terus belajar saja, atau jadilah biksu. Aku juga masih belum tau cara memantik minat atau mengolah minat yang banyak...
Comments
Post a Comment